Secara
etimologi sunnah berarti sebuah jalan yang menjadi kebiasaan, baik
ataupun buruk. Sementara dalam terminologi metodologi hukum Islam (Ushul
Fiqh), Sunnah didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari
Rasulullah Saw – selain al-Qur’an-, yang mencakup perkataan, perbuatan,
dan persetujuan (at-Taqrir) yang dapat dijadikan sebagai landasan
hukum syariat. Sunnah Nabi adalah sumber utama syariat Islam setelah
al-Qur’an. Posisinya sebagai hujjah, telah disepakati umat ini dari
generasi ke generasi. Kecuali segelintir para pengingkar sunnah dengan
segenap argumen lemah mereka. Bagi umat Islam, segala perintah dan
larangan yang tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, adalah sumber
normatif primer yang mengatur tingkah laku mereka. Kendati dalam ranah
aplikasi masih terbuka celah untuk terjadi perbedaan pendapat serta
penafsiran.
Dalam
perbincangan Sunnah, ada satu pembahasan menarik serta memiliki urgensi
dalam ranah penetapan hukum Islam. Yaitu sebuah wacana terkait pemetaan
status sunnah; antara posisi Rasulullah sebagai pembawa wahyu yang
memberikan fatwa kepada umat, dengan aktivitas Rasulullah yang
berkaitan dengan politik serta Imamah. Ulama Madzhab Maliki, Abu
al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarrafi, mengkupas panjang lebar masalah ini
dalam karyanya bertajuk al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa wa al-Ahkam fi Tasharruffati al-Qadli waal-Imam.
Dr. Said Ramadhan al-Buthy, dalam karya-nya Dlawabith al-Mashlahah fii as-Syariah al-Islamiyah (Batas-Batas
Nalar Mashlahah dalam Syariat Islam), memulai pembahasan ini dengan
sebuah introduksi menarik ; jika umat Islam dituntut untuk konsisten
mengamalkan sunnah Nabi, maka bagaimanakah bentuk pengamalan tersebut ?.
Apakah mengamalkan sunnah Nabi harus selalu ‘’secara harfiah’’ dengan
mengamalkannya sebagaimana tertuang dalam teks hadits. Atau ada ‘tawaran
lain’ dalam mengamalkannya. Semisal, dengan hanya mengambil spirit
(maqashid) yang terkandung di dalamnya, meskipun dengan cara (wasilah)
yang berbeda ?.
Dalam buku yang
diterbitkan dari disertasi doktoral Ulama asal Syiria di Universitas
al-Azhar tahun 1965 tersebut, al-Buthy menegaskan bahwa ada dua metode
yang harus ditempuh dalam mengaplikasikan Sunnah. Kedua opsi tersebut
adalah konsekuensi logis yang timbul dari perbedaan status sunnah Nabi,
dengan mempertimbangkan posisi Rasulullah sebagai penyampai wahyu dan
posisinya sebagai pemimpin politik.
Pertama,
aktivitas Rasul dalam posisinya sebagai penyampai wahyu Tuhan, pemberi
kabar gembira dan ancaman, serta pemberi fatwa bagi umat. Terhadap
sunnah jenis ini, tutur al-Buthy, umat Islam wajib mengamalkannya
sebagaimana tuntunan dan rincian yang digariskan oleh Rasul. Dengan
tanpa memandang status beliau sebagai seorang hakim atau pemimpin
politik. Inilah yang diistilahkan oleh Ulama usul fikih sebagai
“Tashorruf al-Rasul bil Fatwa wa al-Tabligh”. Domain yang bisa kita
golongkan ke dalam sunnah jenis ini melingkupi ibadah (shalat, zakat,
danseluruh ritual yang terangkum dalam lima rukun Islam), serta
aturan-aturan dalam Muamalah (seperti jual-beli, hibah, dsb).
Kedua,
aktivitas Rasul dengan memandang status beliau sebagai pemimpin negara
(Imam), serta hakim yang memberikan putusan dalam kasus tertentu atau
perselisihan antara pihak yang bersengketa. Terhadap sunnah jenis ini,
yang dituntut bukanlah bagaimana umat Islam mengikuti tindak laku beliau
secara terperinci. Melainkan sebatas mengambil prinsip-prinsip
universal (al-mabda’ al-kully) yang digariskan, sedangkan rincian
penerapannya diserahkan kepada tuntutan kemaslahatan yang ada. Dan
tentu saja hal tersebut berbeda-beda sesuai kondisi dan waktu. Bahkan
al-Buthy mengingatkan, mengamalkan sunnah jenis ini secara harfiah,
dalam batas-batas tertentu, justru bisa bertentangan dengan prinsip
sunnah itusendiri. Domain yang termasuk jenis ini mencakup semua
perkataan, perbuatan,serta pengakuan yang berkenaan dengan aturan
pasukan, strategi perang, pembagian alokasi dana tertentu, dll.
Pada
giliran selanjutnya, klasifikasi sunnah sebagaimana di atas melahirkan
silang pendapat diantara para Fuqoha’ dalam merumuskan sejumlah
permasalahan fikih. Antara lain keputusan Rasulullah yang tertuang
dalam sabda beliau yang berbunyi “Barang siapa menghidupkan tanah yang
mati, maka ia berhak memilikinya”.
Fuqoha’
Madzhab Maliki dan Syafii berpendapat, sabda ini termasuk opsi sunnah
yang pertama (tabligh dan fatwa). Maka siapapun berhak untuk memakmurkan
tanah mati,tanpa melalui proses izin resmi dari pemerintah. Sedangkan
pakar fikih dari Madzhab Hanafi berpendapat sebaliknya. Bagi mereka,
hadis tersebut dilontarkan justru dalam posisi Rasulullah sebagai Imam.
Yang konsuekensinya, legalitas Ihya’al-Mawat harus melalui izin dari seorang pemimpin dengan mempertimbangkan kemaslahatan publik.
Contoh
lain, adalah perbedaan Fuqoha’ dalam menentukan hukum tanah yang diraih
kaum Muslimin saat menaklukan negeri musuh. Apakah dialokasikan kepada
tentara muslim yang ikut berperang, sebagaimana yang dilakukan Rasul
saat menaklukkan Khaibar. Atau kebijakan tersebut diserahkan kepada
imam, dengan mempertimbangkan tuntutan kemaslahatan saat hukum
diputuskan. As-Syafii dan Imam Ahmad berpendapat yang pertama, dengan
mempertimbangkan bahwa keputusan Rasul di Khaibar adalah dalam ranah
tabligh dan fatwa. Sedangkan Madzhab Hanafi dan Maliki mengamini
pendapat yang kedua. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.
Tulisan
sederhana ini tentu saja tidak ingin mengupas panjang lebar terkait
hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas Rasulullah, baik dalam konteks
fatwa maupun imamah. Namun yang perlu ditegaskan disini adalah, bahwa
tidak semua aktivitas Rasulullah bisa kita terjemahkan secara jumud
dengan tanpa mengkaji konteks yang ada.
Pemahaman
terhadap klasifikasi Sunnah ini, bagi penulis, semakin menemukan
relevansinya dalam menjawab isu-isu kekinian yang acapkali menjadikan
tindakan Rasul sebagai justifikasi utamanya, dengan mengabaikan hal-hal
lain diluar teks. Semisal, apakah instruksi Rasulullah untuk
menghancurkan masjid Dhirar (milik kaum Munafik) serta– merta bisa
dijadikan legitimasi untuk memberangus tempat-tempat kemaksiatan dan
kemungkaran secara membabi buta ?.
Atau
isu lain yang lebih mengglobal, apakah sistem politik yang diterapkan
Rasulullah (sebagai muassis pertama Daulah Islamiyah) di Madinah adalah
sebuah nilai final yang secara harfiah harus diterjemahkan oleh generasi
selanjutnya ? atau justru inti yang harus diambil adalah nilai-nilai
fundamental yang digariskan oleh Rasulullah. Sedangkan rincian
aplikasinya diserahkan kepada ijtihad politik di masing-masing generasi
untuk menetapkan sistem yang tepat.
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, selain dibutuhkan kajian yang
matang, juga memerlukan sejumlah piranti hukum untuk menghasilkan
kesimpulan yang tepat. Semisal, dengan mempertimbangkan maqashid
syariah, menakar prosentase mashlahah– mafsadah yang ditimbulkan dan
lain sebagainya. Dan, aha, tulisan sederhana nan tergesa-gesa ini
tentu saja belum mampu merangkum semuanya. Namun penulis berharap,
semoga tulisan ini bermanfaat. Wallohu A’lam bis Showab (*).
penulis: fahmi santri ahgaff
Tidak ada komentar:
Posting Komentar