Maju dan mundurnya suatu bangsa terletak pada seberapa jauh kekuatan yang dimiliki oleh
bangsa tersebut. Kekuatan yang penulis maksud di sini adalah kekuatan
moral-spiritual. Jika benteng ini kuat, maka aspek-aspek yang lain pun juga
akan kuat. Karena moral-spiritual inilah yang menjadi pandasi utama kemajuan
suatu bangsa. Tetapi sebaliknya, jika aspek moral ini sudah tidak kokoh, maka
tinggal menunggu waktu saja untuk suatu bangsa itu akan runtuh.
Kaitannya dengan hal di atas,
bangsa kita rupanya telah terjajah secara moral. Oleh karenanya, bangsa
Indonesia sekarang sulit untuk maju. Bagaimana mau maju jika generasi bangsanya
terserang oleh penyakit yang sangat kronis? Narkoba! Inilah virus yang sedang menyerang
generasi kita, sehingga kita tidak bisa bersaing secara sehat dengan bangsa
lain.
Masalah narkoba memang sudah menjadi ancaman global bagi negara-negara
di seluruh dunia. Penulis ambil contoh China dan Singapura sebagai permisalan.
Pada contoh dua negara ini, para pengedar dan bandar narkoba ditindak secara
tegas. Bahkan pemerintah di kedua negara tersebut tidak segan-segan untuk
menjatuhkan hukuman mati bagi para pengedar narkoba. Salahkah tindakan yang
dilakukan oleh pemerintahan dua negara tersebut, dengan menghukum mati para bandar
narkoba? Jawaban penulis adalah tidak!
Karena memang itu adalah langkah yang paling baik demi menjaga kemaslahatan
umat dan negara. Selain itu, dengan hukuman mati, juga akan menambah efek jera
terhadap para pengedar dan bandar yang lain untuk tidak melakukan hal yang
sama.
Lalu bagaimanakah dengan Indonesia? Apakah juga mempunyai ketegasan
seperti dua negara yang penulis sebutkan di atas, atau malah justru tunduk
kepada bandar narkoba dan intervensi-intervensi pihak tertentu.
Pasalnya, beberapa saat yang lalu presiden melalui wewenangnya yang diatur
dalam pasal 14 ayat 1 UUD 1945 telah memberikan grasi (ampunan yang diberikan
oleh kepala negara kepada orang yang dijatuhi hukuman) kepada gembong pengedar narkoba tingkat
Internasional. Yaitu Deni Setia Maharwan alias Rapi Mohammed Majid. Berkat
pemberian grasi dari presiden itu, ia bisa lolos dari hukuman mati. Maka tidak
bisa dielakkan lagi, putusan itu membuat sebagian besar kalangan merasa kecewa.
Bahkan Prof. Dr. Mahfud MD, seorang pakar hukum terkemuka di Indonesia yang
juga sebagai ketua Mahkamah Konstitusi sempat menyatakan bahwa, “Presiden telah
mendapat masukan yang salah”. Sebelumnya, pada tanggal 15 Mei 2012 presiden
melalui Keppres No 22/g/2012 dan No 23/g/ 2012 juga telah memberikan grasi
kepada dua orang terpidana kasus narkotika, Schapelle Corbi (warga negara
Australia) dan Frans Grobmann (seorang warga negara Jerman).
Dalam menangani kasus pengedar narkoba ini, pemerintah kita memang
seakan menaruh sikap permisif dan cenderung tidak tegas dalam menegakkan hukum.
Hal ini terlihat dengan sangat jelas ketika para pengguna dan pengedar barang
haram tersebut tidak ditindak secara tegas. Dengan dibebaskannya dari hukuman
mati contohnya. Pemerintah—yang dalam hal ini adalah presiden—malah memberikan
grasi kepada narapidana kasus narkoba dengan dalih wujud perhatiannya kepada
warga negara Indonesia yang dijatuhi vonis hukuman mati dalam kasus pidana.
Adalah benar bahwa presiden mempunyai kekuasaan untuk mengampuni
seseorang yang terkena kasus pidana hukuman mati. Akan tetapi, alangkah lebih
bijaknya jika putusan itu tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu, apalagi
hanya menguntungkan individu tertentu. Yang menjadi masalah adalah, dengan
adanya pemberian grasi itu, berarti telah mengerdilkan semangat masyarakat
dalam pemberantasan narkoba. Selain itu, dalam pandagan penulis, pemberian
grasi itu belum sepenuhnya mencerminkan keadilan, perlindungan hak asasi
manusia, dan kepastian hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Jika ditinjau dari segi hukum fikih, memberikan sangsi dengan mengeksekusi
(al-qatl) para pengedar dan bandar narkoba adalah legal dan mendapatkan
pembenarannya. Memang, secara asal, hukuman yang berupa ta’zir tidak
sampai pada tingkatan membunuh. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam
surat al-An’am ayat 151 yang artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
Rasulullah Saw. juga pernah bersabda: Tidak halal darahnya seorang Muslim yang
mengucapkan dua kalimat syahadat kecuali karena tiga hal: janda yang berzina;
orang yang membunuh; dan orang yang murtad (HR. Muslim).
Akan tetapi, dalam kasus-kasus tertentu, para ulama juga memperbolehkan
hukuman ta’zir dengan cara membunuh (eksekusi). Di antara deretan ulama
yang memperbolehkan akan hal tersebut adalah para ulama dari kalangan Hanafiyah
(madzhab Hananfi); sebagian ulama Hanabilah dengan pentolannya Ibnu
Taimiyah beserta muridnya, yaitu Ibnu Qayyim; dan minoritas pengikut Malikiyyah.
Rumusan ini berlaku ketika eksekusi itu menjadi jalan satu-satunya untuk
menutup “kran jaringan bandar narkoba” serta ada kemaslahatan umum yang
mununtut hal tersebut. (Abd al-Qadir ‘Udah, Tasyri’ al-Jana’i al-Islami,
Beirut: Dar al-Katib al-Aroby, vol. I, hal. 688)
Dalam banyak kasus yang penulis
temukan dalam literatur turats klasik, para ulama sering mengambil
contoh orang yang mengintai orang-orang Islam demi kepentingan musuh untuk
melegalkan hukuman ta’zir dengan membunuh. Menurut hemat penulis, apa
yang sudah dicetuskan oleh para ulama itu sudah sangat rasional. Mengapa?
Karena dengan cara tersebut, yakni mengintai, bisa melumpuhkan kekuatan negara.
Dan sudah selayaknya apabila si pengintai itu dibunuh, mengingat hal ini
berkenaan dengan masalah pertahanan negara.
Relevansinya dengan penindakan
terhadap pengedar narkoba, juga selayaknya jika para bandar narkoba itu juga
dihukum mati. Karena jika tidak, maka—ia dengan jaringannya yang tersebar di
berbagai wilayah, atau bahkan sampai tingkat Internasional—akan merusak
generasi bangsa kita. Implikasinya, jika generasi bangsa ini sudah rusak, maka
dengan sendirinya segenap kekuatan yang dimiliki oleh bangsa ini akan melemah. Dan
penulis kira, alasan yang seperti ini sudah sesuai prosedur yang ditetapkan
oleh para ulama yang penulis sebut di atas.
Mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah, bahwa orang yang berbuat kerusakan
apabila perbuatan orang tersebut tidak dapat diberangus kecuali dengan dibunuh,
maka cara yang ditempuh dengan membunuh pun menjadi legal. Dasar yang dijadikan
pijakan oleh Ibnu Taimiyah ini adalah hadits riwayat ‘Arfajah al-Asyja’i bahwa
ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila ada orang yang datang
kepadamu dan ingin mencerai beraikan jama’ah kamu, maka bunuhlah dia” (HR.
Muslim). (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah as-Syar’iyyah, KSA: Wizarah Syu’un
al-Islamiyyah wal Auqaf wal Da’wah wal Irsyad, cet. I, h. 93).
Lebih jauh lagi, Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam karyanya yang berjudul al-Fiqhu-l-Islamy
juga membenarkan hukuman mati bagi para pelaku tindak kriminal, pengonsumsi
arak, para penebar kerusakan dan segala bentuk kejahatan yang mengancam
stabilitas negara. (Dr. Wahbah Az-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, Damaskus:
Dar al-Fikr, vol. VII, h. 518)
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis sangat setuju dengan sikap yang
diambil oleh ketua MUI KH. Ma’ruf Amin, bahwa hukuman mati sangat tepat sekali
untuk para penjahat narkoba. Karena jika pemerintah terus bersikap permisif
terhadap para bandar narkoba, maka jangan salahkan siapa-siapa jika wabah virus
narkoba akan terus menjalar di bumi Indonesia!!
Casino Game For Sale by Hoyle - Filmfile Europe
BalasHapus› casino-games › casino-games › casino-games › https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ casino-games Casino Game for sale by Hoyle on Filmfile Europe. Free shipping for most countries, 1xbet 먹튀 no filmfileeurope.com download required. ventureberg.com/ Check https://septcasino.com/review/merit-casino/ the deals we have.