Sederhana, mungkin
itulah ungkapan yang pas mendekripsikan bagaimana Tarim. Anda jangan pernah
membayangkan Tarim sebagai sebuah kota metropolitan yang jalanannya macet, lalu
lintasnya ramai dengan klakson kendaraan, gedung pencakar langit di sana-sini,
serta jenis kemewahan lainnya. Tarim tidak seperti Kairo, Dhoha, atau Sana’a.
Di kota asal muasal
kakek moyang Wali Songo ini, pemukiman penduduk masih didominasi oleh
rumah-rumah yang terbuat dari tanah liat yang dikeringkan. Banyak rumah yang
jika dilihat dari luar, konstruksi bangunannya nyaris seperti tembok lapuh yang
hampir roboh. Aromanya begitu klasik. Dari data yang saya telusuri, diantara
rumah tanah itu ada yang kini usianya telah mencapai tiga abad.
(Tentang bagaimana
seluk beluk rumah tanah ini, akan saya khususkan di catatan tersendiri. Insya
Allah).
“Di Tarim, saya selalu
mengingat akhirat,” ungkap Michels, santri muallaf asal Argentina saat sambutan
perpisahan Daurah Ramadhan di Ma’had Darul Mushtafa tahun lalu, dengan mata
berkaca-kaca.
Ya. Tarim memang oase
hati bagi para penempuh lorong tazkiyah ; pensucian jiwa. Masyarakat Tarim
ditempa dengan tradisi keberagamaan yang begitu kuat. Di sini, tapakan-tapakan
konsep sufistik seperti nilai zuhud (asketisme), ikhlas, mahabbah (cinta), dan
nilai-nilai tasawuf yang lain tak hanya menggelinding sebagai sebuah teori.
Namun juga menjelma dalam perilaku keseharian masyarakatnya. Karya – karya Imam
al-Haddad semisal ; Risalah Muawanah, Nashoih Diniyah, ad-Dakwah
at-Tammah , dll seakan menjadi karya yang hidup. Mungkin itulah
sebabnya, Direktorat Nasional Pariwisata Yaman, menjuluki Tarim sebagai ‘Ashimah
Ruhiyyah ; Ibu Kota Spiritual.
Ibu Kota Kebudayaan
Islam
Jatuhnya pilihan
ISISCO menjadikan Tarim sebagai Ibu Kota Kebudayaan Islam (Capital of Islamic
Culture) pada tahun 2010 tentu bukan tanpa alasan. Sebelumnya, status yang sama
diberikan kepada Makkah (2005), Halb – Syiria (2006), Fas - Maroko (2007),
Alexandria - Mesir (2008), dan Kairouan – Tunisia (2009). Terpilihnya Tarim
melalui hasil keputusan Muktamar ke – 4 yang dihelat di Al-Jazair pada tahun
2004.
Mengapa Tarim bisa
menempati posisi yang elegan ini ?
Jawabannya mudah.
Tarim adalah gudang ilmu. Berabad – abad, kajian-kajian keislaman hidup
lestari. Sejak Sahabat Nabi Labid bin Ziyad menancapkan bendera Islam di bumi
Hadramaut, Tarim menjadi kota yang berperan besar bagi tumbuh kembang dan
penyebaran Islam. Salah satu bukti kongkrit, bisa dilihat dari jumlah masjid
yang berdiri di kota berpenduduk sekitar 100 ribu orang ini.
Abdul Hakim al-‘Amiry
menyebut, total masjid di Tarim mencapai angka 360 masjid. (Akibatnya, suara
adzan terdengar bersahut-sahutan karena masjid yang berdekatan). Masjid yang
tertua adalah Masjid Wa’el (berdiri tahun 43 H) yang didirikan oleh Tabiin,
Ahmad bin Abbad bin Bisyir.
Ahmad Abdullah bin
Syihab dalam bukunya Tarim baina al-Madhi wal Hadhir menyebutkan,
aktivitas keilmuan di Tarim di awal perkembangannya berporos pada zawiyah –
zawiyah yang diasuh Ulama-Habaib. Di tempat tersebut, para masyayikh membacakan
kitab keislaman kepada masyarakat. Diantara sekian banyak zawiyah yang masih
eksis dan konsisten hingga kini, adalah zawiyah Masjid Syekh Ali bin Abi Bakr
as-Sakron.
Menara ilmu semakin
bersinar dengan munculnya sejumlah ribath (pesantren) serta madrasah. Salah
satunya adalah Ribath Tarim yang resmi berdiri tahun 1304 H. Hingga kini,
Ribath Tarim masih mempertahankan sistem klasikal berupa halaqah-halaqah.
Ribath Tarim – yang saat ini diasuh oleh al’Allamah Habib Salim as-Syathiri -
adalah salah satu basis kajian Madzhab Syafii di Yaman. Pengajian
kitab-kitab Syafiiyah mulai dari dasar sepertiSafinatun Najah, Yaqut
an-Nafis, tingkat menengah seperti Fathul Muin, Minhaj Thalibin,
hingga tingkat senior seperti Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar
diselenggarakan secara gradual dan sistematis.
Halaqah-halaqah ilmu
yang membahas berbagai cabang ilmu ; fikih, nahwu, hadis, tafsir, dll itu tak
hanya diikuti santri yang mukim di Ribath. Namun juga disemarakkan oleh warga
Tarim. Kawan-kawan mahasiswa Indonesia Al-Ahgaff sendiri, banyak yang terdaftar
sebagai peserta halaqah tetap. Mereka itu tentu saja para mahasiswa yang punya
semangat ekstra. Ada pula pengajian umum yang digelar mingguan,yang di kenal
dengan istilah Rauhah(setiap Jumat malam sabtu), dan Madras (setiap
Sabtu dan Rabu pagi). Baik Rauhahmaupun Madras,
sama-sama diasuh oleh Habib Salim as-Syathiri.
Sebagai pusat
penggemblengan para dai, ada ma’had Darul Musthafa yang saat ini diasuh Habib
Umar bin Hafidz. Habib Umar adalah dai Internasional yang dikenal terus
berusaha membina ukhuwah umat. Beliau adalah tokoh Islam yang sejak lama
memproklamirkan wajah Islam yang moderat, toleran, dan tawassuth. Darul
Mushtafa sendiri, sebagaimana di beritakan New York Times (2009), adalah
lembaga pendidikan multikultural. Banyak pelajar yang berasal dari Asia hingga
Eropa. Bersama Darul Mushtafa, ada Daruz Zahra untuk pelajar putri.
Dinamika kajian
keislaman di Tarim semakin komplit dengan berdirinya Fakultas Syariah wal Qanun
Universitas Al-Ahgaff tahun 1995. Universitas yang berpusat di kota Mukalla
ini, sengaja meletakkan fakultas syariahnya di Tarim. Ahgaff merupakan
representasi dari corak lembaga pendidikan yang ingin melahirkan insan
akademis, namun tak terlepas dari tradisi ‘kitab kuning’. Di awal berdirinya,
Ahgaff memulai jam pertama perkuliahan selepas shalat shubuh (05.30). Diktat
muqorror yang dijadikan mata kuliah adalah gabungan kitab-kitab salaf dengan
buku kontemporer. Saat ini, ada sekitar 500 pelajar Indonesia yang studi di
sini.
Selain bertaburnya
lembaga-lembaga pendidikan dan tahfidz Al-Qur’an yang telah berlangsung
berabad-abad, juga ada perpustakaan manuskrip yang menyimpan karya otentik
salafuna shalih. Diantanya adalah Ahgaff Library for Manuscrip yang terletak di
jantung kota Tarim, di lantai atas Masjid Jami’ Tarim.
Jika anda ke Tarim,
anda akan merasakan nuansa yang tak jauh berbeda dengan tanah air. Pakaian
keseharian warga Tarim adalah sarung, kopyah, dan baju takwa. Sopan santun
‘khas santri’ masyarakatnya akan selalu mengingatkan saya pada Pulau Jawa,
tempat saya belajar. Oh iya, ada sedikit perbedaan ; warga Tarim hidungnya
mancung ke depan, kalau warga Indonesia mancungnya ke belakang, he he
he. Mungkin ini dulu, yang bisa saya ceritakan tentang Tarim. Sampai
jumpa lagi di Serambi Tarim berikutnya.
Welcome Trans 7
Di tengah – tengah
menulis Serambi Tarim ini, ada pesan masuk via WhatsApp.
Saya lihat, rupanya dari Abdul Muhith, koordinator departemen informasi dan
komunikasi PPI Hadramaut. Ada apa sih, ganggu orang nulis aja ? gumamku
dalam hati. Kebetulan, saya anggota departemen Infokom PPI.
“Mas Tomy Ristanto,
reporter acara Musafir Trans 7 akan meliput ke sini dalam waktu dekat,” ujarnya
melalui pesan.
“Meliput terkait apa
?,” balasku singkat.
“Tarim sebagai kota
santri dan pusat penyebaran Islam ke nusantara,” jawab Muhith menerangkan tema
yang akan diliput. Muhith menambahkan, saat ini Tim Trans 7 sudah berada di
Kota Sana’a, meliput beberapa objek di sana, sebelum terbang ke Hadhramaut.
Saya senang sekali
mendengarnya. Kepada tim Trans 7, khususnya Mas Tomy (jika kebetulan membaca
catatan ini), saya ucapkan : “Ahlan wa Sahlan fi Madinat Tarim”. Selamat datang
di Tarim. Inilah Tarim, kota santri dan negeri para para wali. Inilah Tarim ;
Ibu Kota Kebudayaan Islam !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar