Rezeki tidak akan
kemana-mana. Adagium itu benar-benar saya rasakan Kamis (20/02) kemarin. Saya
telat membaca pengumuman Asosiasi Mahasiswa Indonesia (AMI) Al-Ahgaff bahwa
hari itu adalah peringatan Haul al-Habib Ali Muhammad al-Habsyi ; penulis
Maulid Simtut Dhurar yang sudah populer hingga ke tanah air. Kendati
pengumuman sudah tertempel di asrama seminggu lalu, saya baru membacanya Kamis
siang, beberapa jam sebelum bis yang disediakan panitia berangkat.
Saya lantas
menghubungi panitia. “Afwan, kursi bis sudah penuh,” kata Abdurrahman, panitia
penyelenggara. Saya pun kecewa. Tahun lalu, saya tidak bisa hadir karena
kebetulan ada jam kuliah. Dan sekarang, saya telat mendaftar. Ya sudahlah,
berarti bukan rezeki, batinku bergumam.
Selepas shalat Ashar,
tiba-tiba salah seorang kawan menghampiri. “Saya tidak bisa hadir haul sore
ini, kalau antum mau, bisa ambil kursi ana,” ujarnya menawarkan. Alhamdulillah,
ini namanya pucuk dicinta ulampun tiba. Rombongan tujuh bis mahasiswa
Indonesia-pun berangkat menuju Kota Seiwun, ke pusara Habib Ali bin Muhammad
al-Habsyi.
Sampai disana, sesuai
prediksi saya, lautan massa sudah membanjiri lokasi. Kubbah makam Habib Ali
yang hanya menampung sekitar 100 orang itu tak sanggup membendung luapan
manusia yang hadir. Mereka bukan hanya warga Seiwun, Tarim dan kota sekitarnya.
Namun juga berdatangan dari penjuru Hadhramaut dan negeri Yaman. Panitia pun
harus menghampar karpet-karpet di jalan-jalan perumahan sekitar lokasi. Di luar
kubbah, di sejumlah tempat dipasang televisi berlayar besar, menayangkan
secara live aktivitas haul yang dipimpin dari dalam.
Dari layar televisi
itu, saya menyaksikan sejumlah Ulama dan para Habaib duduk dibarisan depan.
Seorang dengan pakaian serba putih plus surban melilit di kepala, memegang
mikrofon, memimpin bacaan zikir dan doa sembari menunggu azan maghrib. Ingin
rasanya bisa duduk di dalam Kubbah itu, bersama para habaib dan ulama yang
penuh cahaya dan ketentraman. Namun apa boleh buat, saya hanya bisa melihat
mereka dari luar, melalui layar.
Baru beberapa
menit duduk membaur bersama lautan massa, tiba-tiba terdengar suara mobil dari
kejauhan. Mobil itu semakin mendekat ke arah kami. Berhenti. Pintu mobil
terbuka, dua sosok yang sangat berwibawa dengan pakaian yang menyiratkan bahwa
mereka bukanlah penduduk Hadhramaut turun. Busana yang dikenakan pun sangat
mencolok ; gamis hitam menjuntai plus kopyah merah lancip yang dillit surban
putih di kepala. Semua pandangan tertuju pada sosok tersebut. Siapakah gerangan
mereka berdua, pasti bukan orang sembarangan ? hatiku bertanya-tanya.
Saya semakin
penasaran, apalagi sejurus kemudian para hadirin terbelah, membentuk jalan
untuk mempersilahkan kedua syekh itu menuju ke dalam Kubbah. Saya perhatikan
lagi dengan seksama. Subhanallah, salah satu dari kedua syekh itu
sudah tidak asing lagi bagi saya. Beliau adalah Syaikh Dr. Jamal Faruq, salah
satu ulama Al-Azhar Kairo yang pernah memberikan kuliah umum di kampusku
beberapa bulan lalu. Mereka berdua merupakan tamu istimewa dari Al-Azhar yang
diundang menghadiri haul sore itu.
Kehadiran Ulama
Al-Azhar adalah hal yang wajib dalam setiap Haul Habib Ali. Saya jadi teringat
dua tahun lalu, dalam acara yang sama. Saat itu, tamu istimewa dari Al-Azhar
yang hadir adalah Syaikh Sayyid Usamah al-Azhari. Dalam ceramahnya beliau
mengatakan, bahwa hubungan intelektual antara Madrasah Hadhramaut dengan
Madrasah Al-Azhar bagaikan burung dengan dua sayap yang saling menguatkan. Dua
madrasah ini ibarat dua mercusuar yang menebarkan Islam ke seantero dunia.
Selepas shalat
Maghrib, acara haul yang diisi pembacaan manaqib Habib Ali Muhammad al-Habsyi
dimulai. Menyimak biografi orang shaleh dibacakan, tentu saja memberikan
manfaat tersendiri. Saya masih tidak habis pikir, mengapa masih saja ada orang
yang anti dengan peringatan haul ulama. Suasana semakin khidmat saat qashidah –
qashidah pujian untuk Rasulullah dibacakan. Menutup rangkaian acara haul yang
juga diperingati di Kota Solo pada hari yang sama itu, dua Syaikh Al-Azhar yang
hadir memberikan mauidhoh singkat serta ijazah sanad hadis. Alhamdulillah
!
Habib Ali in Memoriam
Al-Habib Ali bin
Muhammad bin Husein al-Habsyi. Demikian nama lengkap Habib Ali. Beliau lahir di
Qassam, Hadhramaut, tahun 1259 H / 1843 M. Beliau adalah pemuka Bani Alawiyyin
abad ke-19, putra dari Habib Muhammad Husein al-Habsyi, keturunan Rasulullah
yang terkenal gigih berjuang untuk ilmu dan dakwah.
Sejak kecil, Habib Ali
belajar kepada banyak para ulama di Hadhramaut. Pada usia 17 tahun, beliau
berangkat ke Mekkah menunaikan haji, sekaligus menuntut ilmu disana selama dua
tahun. Setelah dari Mekkah, beliau kembali ke Seiwun, memperdalam keilmuannya
di bawah asuhan ulama sekitar. Sejarah menyebutkan, dalam waktu relatif muda,
Habib Ali telah menguasai ilmu dhahir (syariat) dan batin (tasawuf).
Perpaduan antara
keduanya itulah, yang menjadikan sosok Habib Ali menjadi ulama yang terkenal
pada zamannya. Beliau lantas mendirikan Masjid Riyadh, serta ribath-ribath
sebagai pusat dakwah dan transformasi ilmu. Di kota Seiwun inilah, Habib Ali
memfokuskan aktivitasnya hingga akhir hayat.
Habib Ali juga gigih
melakukan syiar Islam melalui ujung pena. Diantara karyanya yang populer ke
seantero dunia adalah yang berjudul lengkap Simthut Durar ; fi Akhbaril
Maulid Khayril Basar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Awshaf wa Siyar (Untaian
Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama ; Akhlak, Sifat, dan Riwayat Hidupnya).
Karya ini ditulis ketika beliau berusia 68 tahun. Terkait karyanya ini, beliau
pernah berkata, “Siapa yang menjadikan kitab Maulid-ku ini sebagai wirid
atau menghafalnya, maka sir (rahasia) al-Habib Shalallhu ‘alaihi wa sallam akan
tampak pada dirinya”
Ahad, 20 Rabiul Akhir,
1333H / 1915 M, pada waktu dzuhur, Habib Ali menghembuskan nafas terakhirnya,
pergi menghadap Sang Maha Kuasa. Beliau meninggalkan dunia yang semu dan
fana, pada usianya yang ke-72. Langit Seiwun menjadi pekat, kehilangan
sosok permata yang dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar