#DENGAN BERSAMA-SAMA MARI TEGAKKAN ISLAM DAN MEMBUAT SENYUM BAGINDA MUHAMMAD SAW# kirimkan pertanyaan atau curhatan anda seputar agama di fb DAAR IHSAN atau email: hadibaagil110@gmail.com #

Minggu, 20 April 2014

Serambi Tarim [3]: MENGHADIRI HAUL SEIWUN


Rezeki tidak akan kemana-mana. Adagium itu benar-benar saya rasakan Kamis (20/02) kemarin. Saya telat membaca pengumuman Asosiasi Mahasiswa Indonesia (AMI) Al-Ahgaff bahwa hari itu adalah peringatan Haul al-Habib Ali Muhammad al-Habsyi ; penulis  Maulid Simtut Dhurar yang sudah populer hingga ke tanah air. Kendati pengumuman sudah tertempel di asrama seminggu lalu, saya baru membacanya Kamis siang, beberapa jam sebelum bis yang disediakan panitia berangkat.

Saya lantas menghubungi panitia. “Afwan, kursi bis sudah penuh,” kata Abdurrahman, panitia penyelenggara. Saya pun kecewa. Tahun lalu, saya tidak bisa hadir karena kebetulan ada jam kuliah. Dan sekarang, saya telat mendaftar. Ya sudahlah, berarti bukan rezeki, batinku bergumam.


Selepas shalat Ashar, tiba-tiba salah seorang kawan menghampiri. “Saya tidak bisa hadir haul sore ini, kalau antum mau, bisa ambil kursi ana,” ujarnya menawarkan. Alhamdulillah, ini namanya pucuk dicinta ulampun tiba. Rombongan tujuh bis mahasiswa Indonesia-pun berangkat menuju Kota Seiwun, ke pusara Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi.

Sampai disana, sesuai prediksi saya, lautan massa sudah membanjiri lokasi. Kubbah makam Habib Ali yang hanya menampung sekitar 100 orang itu tak sanggup membendung luapan manusia yang hadir. Mereka bukan hanya warga Seiwun, Tarim dan kota sekitarnya. Namun juga berdatangan dari penjuru Hadhramaut dan negeri Yaman. Panitia pun harus menghampar karpet-karpet di jalan-jalan perumahan sekitar lokasi. Di luar kubbah, di sejumlah tempat dipasang televisi berlayar  besar, menayangkan secara live aktivitas haul yang dipimpin dari dalam.

Dari layar televisi itu, saya menyaksikan sejumlah Ulama dan para Habaib duduk dibarisan depan. Seorang dengan pakaian serba putih plus surban melilit di kepala, memegang mikrofon, memimpin bacaan zikir dan doa sembari menunggu azan maghrib. Ingin rasanya bisa duduk di dalam Kubbah itu, bersama para habaib dan ulama yang penuh cahaya dan ketentraman. Namun apa boleh buat, saya hanya bisa melihat mereka dari luar, melalui layar.

Baru  beberapa menit duduk membaur bersama lautan massa, tiba-tiba terdengar suara mobil dari kejauhan. Mobil itu semakin mendekat ke arah kami. Berhenti. Pintu  mobil terbuka, dua sosok yang sangat berwibawa dengan pakaian yang menyiratkan bahwa mereka bukanlah penduduk Hadhramaut turun. Busana yang dikenakan pun sangat mencolok ; gamis hitam menjuntai plus kopyah merah lancip yang dillit surban putih di kepala. Semua pandangan tertuju pada sosok tersebut. Siapakah gerangan mereka berdua, pasti bukan orang sembarangan ? hatiku bertanya-tanya.

Saya semakin penasaran, apalagi sejurus kemudian para hadirin terbelah, membentuk jalan untuk mempersilahkan kedua syekh itu menuju ke dalam Kubbah. Saya perhatikan lagi dengan seksama. Subhanallah, salah satu dari kedua syekh itu sudah tidak asing lagi bagi saya. Beliau adalah Syaikh Dr. Jamal Faruq, salah satu ulama Al-Azhar Kairo yang pernah memberikan kuliah umum di kampusku beberapa bulan lalu. Mereka berdua merupakan tamu istimewa dari Al-Azhar yang diundang menghadiri haul sore itu.

Kehadiran Ulama Al-Azhar adalah hal yang wajib dalam setiap Haul Habib Ali. Saya jadi teringat dua tahun lalu, dalam acara yang sama. Saat itu, tamu istimewa dari Al-Azhar yang hadir adalah Syaikh Sayyid Usamah al-Azhari. Dalam ceramahnya beliau mengatakan, bahwa hubungan intelektual antara Madrasah Hadhramaut dengan Madrasah Al-Azhar bagaikan burung dengan dua sayap yang saling menguatkan. Dua madrasah ini ibarat dua mercusuar yang menebarkan Islam ke seantero dunia.

Selepas shalat Maghrib, acara haul yang diisi pembacaan manaqib Habib Ali Muhammad al-Habsyi dimulai. Menyimak biografi orang shaleh dibacakan, tentu saja memberikan manfaat tersendiri. Saya masih tidak habis pikir, mengapa masih saja ada orang yang anti dengan peringatan haul ulama. Suasana semakin khidmat saat qashidah – qashidah pujian untuk Rasulullah dibacakan. Menutup rangkaian acara haul yang juga diperingati di Kota Solo pada hari yang sama itu, dua Syaikh Al-Azhar yang hadir memberikan mauidhoh singkat serta ijazah sanad hadis. Alhamdulillah !

Habib Ali in Memoriam
Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi. Demikian nama lengkap Habib Ali. Beliau lahir di Qassam, Hadhramaut, tahun 1259 H / 1843 M. Beliau adalah pemuka Bani Alawiyyin abad ke-19, putra dari Habib Muhammad Husein al-Habsyi, keturunan Rasulullah yang terkenal gigih berjuang untuk ilmu dan dakwah.

Sejak kecil, Habib Ali belajar kepada banyak para ulama di Hadhramaut. Pada usia 17 tahun, beliau berangkat ke Mekkah menunaikan haji, sekaligus menuntut ilmu disana selama dua tahun. Setelah dari Mekkah, beliau kembali ke Seiwun, memperdalam keilmuannya di bawah asuhan ulama sekitar. Sejarah menyebutkan, dalam waktu relatif muda, Habib Ali telah menguasai ilmu dhahir (syariat) dan batin (tasawuf).

Perpaduan antara keduanya itulah, yang menjadikan sosok Habib Ali menjadi ulama yang terkenal pada zamannya. Beliau lantas mendirikan Masjid Riyadh, serta ribath-ribath sebagai pusat dakwah dan transformasi ilmu. Di kota Seiwun inilah, Habib Ali memfokuskan aktivitasnya hingga akhir hayat.

Habib Ali juga gigih melakukan syiar Islam melalui ujung pena. Diantara karyanya yang populer ke seantero dunia adalah yang berjudul lengkap Simthut Durar ; fi Akhbaril Maulid Khayril Basar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Awshaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama ; Akhlak, Sifat, dan Riwayat Hidupnya). Karya ini ditulis ketika beliau berusia 68 tahun. Terkait karyanya ini, beliau pernah berkata, “Siapa yang menjadikan kitab Maulid-ku ini sebagai wirid atau menghafalnya, maka sir (rahasia) al-Habib Shalallhu ‘alaihi wa sallam akan tampak pada dirinya

Ahad, 20 Rabiul Akhir, 1333H / 1915 M, pada waktu dzuhur, Habib Ali menghembuskan nafas terakhirnya, pergi menghadap Sang Maha Kuasa. Beliau meninggalkan dunia yang semu dan  fana, pada usianya yang ke-72. Langit Seiwun menjadi pekat, kehilangan sosok permata yang dimilikinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar